Danau Singkarak dengan luas 107,8 m2 merupakan
danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatra, Indonesia.
Danau yang berada di ketinggian 36,5 meter dari permukaan laut ini
terletak di dua kabupaten di Provinsi Sumatra Barat, yaitu Kabupaten
Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Menurut cerita, danau yang juga
merupakan hulu Sungai Batang Ombilin ini dahulu memang merupakan lautan
luas. Namun karena terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa, air laut
tersebut menyusut. Peristiwa Apakah yang menyebabkan air laut tersebut
menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda
ikuti dalam cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak berikut ini.
* * *
Alkisah, di
sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak Buyung.
Ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang
anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan
dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit
Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke
pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan
menggunakan pancing, bubu ataupun jala.
Ketika
sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya ke
hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya
mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang
membuat mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu
selera makannya amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat
menghabiskan nasi setengah bakul dengan lauk beberapa piring.
Pada
suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil laut
sangat sulit diperoleh. Untuk itu, keluarga Pak Buyung harus berhemat
terutama menahan selera makan. Mereka harus makan apa adanya. Jika tidak
ada nasi, mereka makan ubi atau pun keladi (talas). Cukup lama musim
paceklik berlangsung, sehingga mereka semakin kesulitan mendapatkan
makanan. Hal itu rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri
daripada terhadap anaknya. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga
membuat mereka hampir berputus asa. Mereka sering bermalas-malasan pergi
mencari rotan ke hutan dan mencari ikan ke laut.
Sudah
beberapa hari keluarga Pak Buyung hanya makan ubi bakar. Tentu hal itu
tidak mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari, Indra menangis minta
makanan kepada kedua orangtuanya.
“Ayah, carikan saya makanan! Saya sangat lapar,” keluh Indra.
“Hei, anak malas! Kalau kamu lapar carilah sendiri makanan ke hutan atau ke laut sana!” seru ayahnya dengan nada kesal.
“Pak! Bukankah anak kita masih kecil? Tentu dia belum bisa mencari makanan sendiri,’ sahut sang Ibu.
“Iya, dia memang masih anak-anak. Tapi, dia yang paling banyak makannya,” bantah sang suami.
Mendengar
bantahan suaminya itu, sang Istri pun diam. Ia kemudian membujuk Indra
agar berangkat sendiri ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari hasil-hasil
hutan di Bukit. Indra pun menuruti nasehat ibunya. Sebelum berangkat ke
hutan, Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam piaraannya yang
bernama Taduang. Si Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap kali
tuannya (si Indra) pulang dari hutan, ia selalu berkokok menyambut
kedatangan tuannya.
Menjelang
siang, Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil. Keesokan harinya,
ayahnya memerintahkannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Saat Indra
pergi ke laut, ayah dan ibunya hanya tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya,
mereka benar-benar sudah putus asa menghadapi kesulitan hidup. Keadaan
demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra merasa tubuhnya
sangat lelah dan berniat untuk beristirahat beberapa hari.
Pada suatu hari, sepulang dari laut mencari ikan, Indra berkata kepada ayahnya:
“Ayah! Badanku terasa sangat letih. Bolehkah saya beristirahat untuk beberapa hari?” pinta Indra.
“Apa
katamu? Dasar anak malas! Kamu tidak boleh beristirahat. Besok kamu
harus tetap kembali ke laut mencari ikan,” ujar sang Ayah.
Oleh
karena tidak ingin membatah perintah ayahnya, keesokan harinya Indra
pergi ke laut mencari ikan. Ketika Indra berangkat ke laut, secara
diam-diam ibunya juga berangkat ke laut. Tapi, ia menuju ke sebuah
tanjung, agak jauh dari tempat Indra mencari ikan. Sementara ayahnya
pergi ke hutan.
Menjelang
siang, Pak Buyung kembali dari hutan dengan membawa seikat ijuk.
Sesampainya di rumah, ia melihat istrinya sedang membersihkan pensi (sejenis kerang berukuran kecil).
“Sedang apa, Bu?” tanya Pak Buyung kepada istrinya.
“Sedang membersihkan pensi, Pak! Tadi ketika hendak mencari ikan di laut, aku melihat banyak warga dari kampung tetangga sedang mencari pensi. Akhirnya aku pun ikut mencari pensi bersama mereka,” jawab istrinya.
“Bagaimana cara memasaknya? Bukankah Ibu belum pernah memasak pensi sebelumnya? ” tanya Pak Buyung.
“Tenang, Pak! Kata seorang warga dari kampung tetangga, daging pensi enak jika dimasak pangek[1],” jelas istrinya.
“Wah, kalau begitu, kita makan enak siang ini,” ucap Pak Buyung sambil mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.
Setelah membersihkan pensi itu, sang Istri pun segera membuatkan bumbu dan memasaknya. Tak lama kemudian, aroma masakan pangek pun tercium oleh Pak Buyung.
“Wah,
harum sekali aromanya. Istriku memang pintar memasak,” puji Pak Buyung
seraya mendekati istrinya yang sedang masak di dapur.
“Bu, apakah pangek ini cukup kita makan bertiga?” tanya Pak Buyung.
“Tentu saja cukup,” jawab istrinya.
“Apakah Ibu sudah lupa kalau si Indra makannya banyak? Pangek ini pasti tidak cukup dia makan sendiri,” kata Pak Buyung.
‘Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya istrinya.
“Bagaimana kalau kita makan diam-diam, selagi si Indra masih berada di laut,” saran Pak Buyung.
“Tapi, sebentar lagi dia pulang,” kata istrinya.
“Kalau dia pulang, pasti akan ketahuan.,” ucap Pak Buyung.
“Bagaimana Bapak bisa mengetahuinya!” tanya istrinya.
“Jika si Taduang berkokok, berarti si Indra telah pulang,” jawab Pak Buyung.
Sang Istri pun mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya. Keduanya pun menyantap pangek
itu dengan lahapnya. Namun, baru makan beberapa suap, tiba-tiba ayam
peliharaan Indra berkokok. Mendengar kokok ayam itu, kedua suami-istri
itu segera mencuci tangan, lalu membereskan makanan dan
menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke gubuk, ia
melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai. Kedua
orangtuanya terlihat tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi.
“Hei, Indra! Mana ikan yang kamu peroleh?” tanya ayahnya.
“Maaf, Ayah! Hari ini aku tidak memperoleh ikan?” jawab Indra dengan wajah kusut.
“Kenapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan?” tanya ayahnya.
“Maaf, Ayah! Saya sangat letih dan lapar,” jawab Indra.
“Hei, apa yang bisa kamu makan kalau tidak memperoleh ikan?” sang Ayah kembali bertanya.
“Saya sudah berusaha, Ayah. Tapi belum berhasil,” jawab Indra.
“Ayah, Ibu! Adakah sesuatu yang bisa saya makan. Sekedar pengganjal perut,” pinta Indra kepada kedua orangtuanya.
“Tidak! Hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas,” kata ayahnya.
“Tapi, Ayah! Saya lapar sekali,” keluh Indra sambil memegang perutnya.
“Baiklah!
Kamu boleh makan, tapi kamu harus mencuci ijuk ini sampai bersih,”
sahut ibunya sambil menyerahkan ijuk yang tadi dibawa suaminya dari
hutan.
Indra
pun segera pergi ke laut mencuci ijuk itu karena ingin mendapatkan
makanan dari kedua orangtuanya. Ketika Indra berangkat ke laut, kedua
orangtuanya kembali melanjutkan acara makan mereka.
“Wah, meskipun baru kali ini Ibu memasak pangek pensi, tapi rasanya lezat sekali,” sanjung Pak Buyung kepada istrinya.
Sang Istri tersenyum mendengar sanjungan suaminya. Kemudian sepasang suami istri itu makan pangek
dengan lahapnya. Mereka baru berhenti makan setelah perut mereka
benar-benar sudah penuh. Selesai makan, mereka kembali menyembunyikan
makanan yang masih tersisa di bawah tempat tidur. Tidak beberapa lama
kemudian, si Taduang terdengar berkokok, pertanda tuannya telah kembali
dari laut. Ketika masuk ke dalam gubuk, Indra melihat kedua orangtuanya
masih sedang duduk bersantai.
“Bagaimana? Apakah ijuk itu sudah bersih kamu cuci?” tanya ibunya.
“Sudah, Bu,” jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu di depan ibunya.
“Hah! Kenapa masih hitam begini? Kamu harus mencucinya hingga berwarna putih,” ujar ibunya.
“Tapi,
Bu! Aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku menggosoknya
dengan campuran pasir, tapi masih tetap berwarna hitam,” sanggah
Indra.
“Ah, alasan saja! Cuci lagi ijuk itu ke laut!” seru ayahnya.
Dengan
langkah sempoyongan, Indra pun kembali ke laut. Sesampainya di laut, ia
terus berusaha mencuci dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali,
tetapi tetap saja berwarna hitam. Rupanya Indra yang masih anak-anak
tidak mengetahui jika ijuk itu memang pada dasarnya berwarna hitam.
Meskipun ijuk itu berkali-kali dicuci dan digosok, tentu tidak akan
pernah berwarna putih.
Menjelang
senja, Indra kembali ke gubuknya. Ketika masuk ke ruang tengah
gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan
pelan-pelan, ia melangkah menuju ke ruang dapur. Betapa terkejutnya ia
ketika melihat kedua orangtuanya sedang tertidur pulas di ruang dapur.
Di sekeliling mereka berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci pangek pensi yang telah kosong. Hanya kuah dengan beberapa cuil daging pensi yang tersisa.
Alangkah
sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa
kedua orangtuanya telah menipu dan membohonginya. Namun, sebagai anak
yang berbakti, dia tidak ingin marah kepada mereka yang telah
melahirkannya. Ia pun berjalan keluar dari gubuknya sambil mengusap air
mata yang menetes di pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung
menangkap ayam kesayangannya, si Taduang. Kemudian ia duduk di atas batu
di samping gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Taduang.
“Taduang!
Rupanya Ayah dan Ibuku telah menipuku. Untuk apalagi aku tinggal
bersama mereka di sini, kalau mereka sudah tidak menyayangiku lagi,”
kata Indra kepada ayamnya.
Mendengar
pernyataan Indra, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda bahwa ia
mengerti perasaan tuannya. Si Taduang kemudian mengepak-ngepakkan
sayapnya. Indra pun mengerti bahwa ayam kesayangannya itu akan
mengajaknya pergi meninggalkan kampung itu. Dengan cepat, Indra pun
segera berpegangan pada kaki si Taduang. Beberapa saat kemudian, si
Taduang terbang ke udara, sementara Indra tetap berpegangan pada
kakinya. Saat tubuh Indra terangkat, batu tempat Indra duduk itu juga
ikut terangkat. Anehnya, semakin tinggi mereka terbang, batu itu semakin
membesar. Akhirnya, si Taduang pun sudah tidak kuat lagi membawa
terbang si Indra bersama batu besar itu. Melihat hal itu, Indra pun
segera menyentakkan kakinya, sehingga batu besar itu melesat menuju ke
bumi dan menghantam salah satu bukit yang ada di sekitar lautan.
Hantaman batu itu membentuk sebuah lubang memanjang. Dengan cepat, air
laut pun mengalir ke arah lubang itu dan menembus bukit, sehingga
membentuk aliran sungai.
Konon,
itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin, yang bermuara ke
daerah Riau. Semakin lama air laut itu semakin menyusut, sehingga lautan
itu berubah menjadi Danau Singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan
masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam
kesayangannya, si Taduang, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak
dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori
legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang
dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat suka
mementingkan diri sendiri. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku
Pak Bujang bersama istrinya yang lebih mementingkan diri mereka sendiri
dan melalaikan anak mereka yang sedang kelaparan. Akibatnya, mereka pun
ditinggal pergi oleh anaknya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kerja beramai,
makan sendiri
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari Ivan Adilla. 2005. Cerita Rakyat dari Solok (Sumatra Barat). Jakarta: Grasindo.
- Anonim. “Danau Singkarak,” http://www.wisatanet.com/templete/index.php?wil=3&id=000000000013512.
- Anonim. “Danau Singkarak,” http://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Singkarak.
- Tenas Effendy. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru: Bapedda Tingkat I Riau.
[1] Pangek adalah sejenis gulai pedas yang dimasak dengan bumbu kemiri, daun jeruk dan asam. Kuah pangek bukan diambil dari santan kelapa, tapi hanya dari air.
Post a Comment