Danau Maninjau
adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya,
Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas
sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini
merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di
Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan
gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh
karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah
danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus
dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!
* * *
Alkisah,
di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat
tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang
luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup
makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping
itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering
mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di
salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang
bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan.
Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang
bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang,
Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara
adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti
Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama
meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah
tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh
bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua
mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian
yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil
bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya
masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka
yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak,
Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan
memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya
tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah
Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan
berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang
mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada
suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung
ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan
dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh
hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir
sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada
Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan
itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka
kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka
sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya,
keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena
khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang
kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran
dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat
mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan
Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia
sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika
musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang
melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan
seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan,
yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut
gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera
mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban
dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada
hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah
lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya
masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong
pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil
bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling
berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun
yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta
berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah
itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang
perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu
mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni
si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka
terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran
melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua
serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian,
keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang
Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun
terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat,
Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran.
Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan
kedua tangannya.
“Aduh, sakit...! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya,
tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi
melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang
tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran
karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut
dipendamnya dalam hati.
Beberapa
bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya
terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya
purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang
bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan
orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam
atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada
Sani.
“Maaf,
Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat
hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang
benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah
menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini,
Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami
bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,”
ungkap Datuk Limbatang.
“Pada
dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang
jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan
rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa
kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang
pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada,
Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang
perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku
dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil
menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang
patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal
kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu
hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah,
itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan
Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan
tangannya ke lantai.
Semua
yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun
yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang.
Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf,
Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran.
Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah,
Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu
sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan
keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu
patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan
salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban
hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui
bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena
hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau
menerimanya.
“Terserah
Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik
kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban
dengan ketus.
“Baiklah,
Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu
hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya
berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya,
Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan
mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu.
Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak
kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk
termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya.
Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua
pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar.
Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di
sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang
mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah,
Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam
keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan
dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa
lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan
jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya.
Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran
pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya.
Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu
mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari
balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang
Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran
dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak
menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya
benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa
ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya,
Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban
bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi
kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang
dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan
pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan
bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung
itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka
sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar
kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan
itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau.
Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan
tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka
ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi
kesempatan untuk berbicara.
“Wahai
kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa
pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya
Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar
bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas
ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan
kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai
memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah.
Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang
menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika
Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka
semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh
Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan
diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari
dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua
yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun,
naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung
itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun
menjelma menjadi ikan.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau
dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu
menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh
masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama
danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat
dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau
Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto
Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita
di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral
yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh
sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega
menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal
ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong
seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan
dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat
dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat
Post a Comment